KELOMPOK 3
Laporan ini di tujukan untuk memenuhi tugas mata
pelajaran
ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
TENTANG KONFLIK SOSIAL
DISUSUN OLEH :
Nani Gustiawati
Syarif Abdurahman
Taufik Septiyan Hidayat
Bintang Puja Utami
Dita Dwiyanti
Fitri
Dewi Wulandari
YAYASAN ADHI GUNA KENCANA
SMK KESEHATAN BHAKTI KENCANA SUBANG
TAHUN AJARAN 2014/2015
BAB I PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini tengah menghadapi
ancaman serius berkaitan dengan mengerasnya konflik-konflik dalam masyarakat,
baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Konflik-konflik itu pada
dasarnya merupakan produk dari sistem kekuasaan Orde Baru yang militeristik,
sentralistik, dominatif, dan hegemonik. Sistem tersebut telah menumpas
kemerdekaan masyarakat untuk mengaktualisasikan dirinya dalam wilayah sosial,
ekonomi, politik, maupun kultural. Kemajemukan bangsa yang seharusnya dapat
kondusif bagi pengembangan demokrasi ditenggelamkan oleh ideologi harmoni
sosial yang serba semu, yang tidak lain adalah ideologi keseragaman. Bagi
negara kala itu, kemajemukan dianggap sebagai potensi yang dapat mengganggu
stabilitas politik.
Karena itu negara perlu menyeragamkan setiap elemen
kemajemukan dalam masyarakat sesuai dengan karsanya, tanpa harus merasa telah
mengingkari prinsip dasar hidup bersama dalam kepelbagaian. Dengan segala
kekuasaan yang ada padanya negara tidak
segan - segan untuk menggunakan cara-cara koersif
agar masyarakat
tunduk pada ideologi negara yang maunya serba seragam, serba tunggal. Negara
sebagai faktor dominan yang telah membentuk pola pikir dan kesadaran
antidemokrasi di kalangan masyarakat. Ketika negara mengalami defisit otoritas,
kesadaran masyarakat semakin menonjol dalam berbagai pola perilaku sosial dan
politik.
Munculnya reformasi telah menyediakan ruang yang lebih
lebar bagi artikulasi pendapat dan kepentingan masyarakat pada umumnya.
Masalahnya, artikulasi pendapat dan kepentingan itu masih belum terlepas dari
kesadaran bias state yang mengimplikasikan dehumanisasi. Itulah mengapa
kemudian muncul berbagai bentuk tragedi kemanusiaan yang amat memilukan seperti
kita saksikan dewasa ini di Aceh, Ambon, Sambas, Papua, dan beberapa daerah
lain. Ironisnya lagi, ternyata ada the powerful invisible hand yang turut
bermain dalam menciptakan tragedi kemanusiaan itu.Jadi, reformasi yang tengah
kita laksanakan sekarang ini harus mampu membongkar aspek struktural
dan kultural yang kedua-duanya
saling mempengaruhi kehidupan
masyarakat. Kita tidak dapat semata-mata bertumpu kepada aspek struktural atau
sistem kekuasaan yang ada, melainkan harus pula melakukan evaluasi atas wacana
dan konstruksi pemikiran masyarakat. Gerakan reformasi, karena sifatnya yang
moderat. Sementara revolusi, sifatnya yang radikal, bersikap tegas dalam
menghadapi rezim kekuasaan yang lama.
Kenyataan bahwa yang terjadi sekarang ini adalah
reformasi menuntut segenap elemen dalam masyarakat untuk mereposisi gerakannya
agar lebih kondusif bagi akselerasi reformasi. Artinya, kita tidak dapat lagi
menggunakan wacana dan metode gerakan sebagaimana dilakukan pada masa kekuasaan
Orde Baru. Gerakan sosial apa pun dalam masyarakat harus mulai menyediakan
alternatif-alternatif yang lebih konkret kepada para pengambil keputusan.
Meskipun struktur dan sistemnya masih Orde Baru, tetapi di dalamnya mulai
berlangsung dinamika yang lebih baik ke arah demokratisasi.Namun demikian ada
dua soal yang harus secara terus-menerus dipertegas. Pertama, political will
dan konsistensi pemerintah baru untuk melaksanakan agenda reformasi. Kedua,
kesediaan masyarakat untuk bekerja sama dengan pemerintah dalam mempercepat
jalannya agenda reformasi. Dalam konteks pengembangan kehidupan bangsa yang
humanis, plural dan demokratis, baik pemerintah maupun masyarakat bertanggung
jawab untuk membongkar struktur dan kultur dalam masyarakat yang masih
diskriminatif.
Masyarakat tidak boleh lagi menyerahkan segala urusan
kepada pemerintah sebagaimana yang sudah-sudah. Karena dengan begitu kita
sebagai warga negara akan semakin kehilangan peran strategis, sementara pemerintah
akan semakin dominan. Inilah waktu yang tepat
bagi segenap warga negara
Indonesia untuk berpartisipasi semaksimal mungkin
dalam mengarahkan dan mengendalikan proses transisi bangsa dan negara ini
menuju demokrasi yang sejati, atau minimal demokrasi yang stabil (stable
democracy).
BAB II PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN KONFLIK SOSIAL
Manusia sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi
dengan sesama manusia. Ketika berinteraksi dengan sesama manusia, selalu
diwarnai dua hal, yaitu konflik dan kerjasama. Dengan demikian konflik
merupakan bagian dari kehidupan manusia.
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang
berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu
proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah
satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau
membuatnya tidak berdaya. Konflik, dalam kamus besar Bahasa Indonesia (2002)
diartikan sebagai percekcokan, perselisihan, dan pertentangan.
Beberapa pendapat ahli tetang pengertian konflik :
a. Kartono &
Gulo (1987)
Konflik berarti ketidaksepakatan dalam satu pendapat
emosi dan tindakan dengan orang lain
Keadaan mentalmerupakan hasil impuls-impuls,hasrat-hasrat,
keinginan-keinginan dan sebagainya yang saling bertentangan, namun bekerja
dalam saat yang bersamaan.
b. Robbins (1996)
Konflik juga dimaknai sebagai suatu proses yang mulai
bila satu pihak merasakan bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara negatif,
atau akan segera mempengaruhi secara negatif, sesuatu yang diperhatikan oleh
pihak pertama. Suatu ketidakcocokan belum bisa dikatakan sebagai suatu konflik
bilamana salah satu pihak tidak memahami adanya ketidakcocokan tersebut.
c. White &
Bednar (1991)
Konflik sebagai suatu interaksi antara orang-orang
atau kelompok yang saling bergantung merasakan adanya tujuan yang saling
bertentangan dan saling mengganggu satu sama lain dalam mencapai tujuan itu.
d. Cassel Concise dalam
Lacey (2003)
Mengemukakan bahwa konflik sebagai “a fight, a
collision; a struggle, a contest; opposition of interest, opinion or purposes;
mental strife, agony”. Pengertian tersebut memberikan
penjelasan bahwa konflik adalah suatu pertarungan, suatu
benturan, suatu pergulatan, pertentangan kepentingan, opini-opini atau
tujuan-tujuan, pergulatan mental, penderitaan batin.
e. Mangkunegara
(2001)
Konflik adalah suatu pertentangan yang terjadi antara
apa yang diharapkan oleh seorang terhadap dirinya, orang lain, orang dengan kenyataan
apa yang diharapkan.
f. Wexley
&Yukl (1988).
Konflik juga merupakan perselisihan atau perjuangan di
antara dua pihak (two parties)yang ditandai dengan menunjukkan
permusuhan secara terbuka dan atau mengganggu dengan sengaja pencapaian tujuan
pihak yang menjadi lawannya Pertentangan dikatakan sebagai konflik manakala
pertentangan itu bersifat langsung, yakni ditandai interaksi timbal balik di
antara pihak-pihak yang bertentangan.
Jadi, konflik biasanya diberi pengertian sebagai satu
bentuk perbedaan atau pertentangan ide, pendapat, faham dan kepentingan di
antara dua pihak atau lebih. Pertentangan ini bisa berbentuk pertentangan fisik
dan non-fisik, yang pada umumnya berkembang dari pertentangan non-fisik menjadi benturan fisik,
yang bisa berkadar tinggi dalam bentuk kekerasan (violent),
bisa juga berkadar rendah yang tidak menggunakan kekerasan (non-violent).
Dalam hubungannya dengan pertentangan sebagai konflik,
Marck, Synder dan Gurr membuat kriteria yang menandai suatu pertentangan
sebagai konflik:
1.
Pertama,
sebuah konflik harus melibatkan dua atau lebih pihak di
dalamnya;
2.
Kedua,
pihak-pihak tersebut saling tarik-menarik dalam aksi-aksi saling memusuhi
(mutualy opposing actions);
3.
Ketiga,
mereka biasanya cenderung menjalankan perilaku koersif untuk
menghadapi dan
menghancurkan “sang musuh
4.
Keempat,
interaksi pertentangan di antara pihak-pihak itu berada dalam
keadaan yang
tegas, karena itu keberadaan peristiwa pertentangan itu dapat dideteksi dan
dimufakati dengan mudah oleh para pengamat yang tidak terlibat dalam
pertentangan.
B. SUMBER KONFLIK SOSIAL
Konflik yang terjadi pada manusia bersumber pada
berbagai macam sebab. Begitu beragamnya sumber konflik yang terjadi antar
manusia, sehingga sulit itu untuk dideskripsikan secara jelas dan terperinci
sumber dari konflik. Hal ini dikarenakan sesuatu yang seharusnya bisa menjadi
sumber konflik, tetapi pada kelompok manusia tertentu ternyata tidak menjadi
sumber konflik, demikian halnya sebaliknya. Kadang sesuatu yang sifatnya sepele
bisa menjadi sumber konflik antara manusia. Konflik dilatarbelakangi oleh
perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi.
Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah
menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan
lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi
sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak
satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau
dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan
hilangnya masyarakat itu sendiri.
Kesimpulannya sumber konflik itu sangat beragam dan
kadang sifatnya tidak rasional. Oleh karena kita tidak bisa menetapkan secara
tegas bahwa yang menjadi sumber konflik
adalah sesuatu hal tertentu, apalagi hanya didasarkan
pada hal-
hal yang sifatnya rasional.
Pada umumnya penyebab munculnya konflik kepentingan
sebagai berikut:
(1) perbedaan kebutuhan, nilai, dan tujuan,
(2) langkanya sumber daya seperti kekuatan, pengaruh,
ruang,
waktu, uang, popularitas dan
posisi,
(3) persaingan.
Menurut Johnson & Johnson, (1991) ketika
kebutuhan, nilai dan tujuan saling bertentangan, ketika sejumlah sumber daya
menjadi terbatas, dan ketika persaingan untuk suatu penghargaan serta hak-hak
istimewa muncul, konflik kepentingan akan muncul.
Menurut Anoraga (dalam Saputro, 2003) suatu konflik
dapat terjadi karena perbendaan pendapat, salah paham, ada pihak yang
dirugikan, dan perasaan sensitif.
1.Perbedaan
pendapat
Suatu konflik yang terjadi karena pebedaan pendapat dimana masing-masing pihak merasa dirinya benar, tidak ada
Suatu konflik yang terjadi karena pebedaan pendapat dimana masing-masing pihak merasa dirinya benar, tidak ada
yang mau mengakui kesalahan, dan apabila perbedaan
pendapat tersebut amat tajam maka dapat menimbulkan rasa kurang enak,
ketegangan dan sebagainya.
2. Salah
paham
Salah paham merupakan salah satu hal yang dapat menimbulkan konflik. Isalnya tindakan dari seseorang yang tujuan sebenarnya baik tetapi diterima sebaliknya oleh individu yang lain.
Salah paham merupakan salah satu hal yang dapat menimbulkan konflik. Isalnya tindakan dari seseorang yang tujuan sebenarnya baik tetapi diterima sebaliknya oleh individu yang lain.
3. Ada
pihak yang dirugikan
Tindakan salah satu pihak mungkin dianggap merugikan yang lain atau masing-masing pihak merasa dirugikan pihak lain sehingga seseorang yang dirugikan merasa kurang enak, kurang senang atau bahkan membenci.
Tindakan salah satu pihak mungkin dianggap merugikan yang lain atau masing-masing pihak merasa dirugikan pihak lain sehingga seseorang yang dirugikan merasa kurang enak, kurang senang atau bahkan membenci.
4.
Perasaan sensitif
Seseorang yang terlalu perasa sehingga sering menyalah artikan tindakan orang lain. Contoh, mungkin tindakan seseorang wajar, tetapi oleh pihak lain dianggap merugikan.
Seseorang yang terlalu perasa sehingga sering menyalah artikan tindakan orang lain. Contoh, mungkin tindakan seseorang wajar, tetapi oleh pihak lain dianggap merugikan.
Baron
& Byrne (dalam Kusnarwatiningsih, 2007) mengemukakan konflik disebabkan
antara lain oleh perebutan sumber daya, pembalasan dendam, atribusi dan
kesalahan dalam berkomunikasi. Sedangkan Soetopo (2001) juga mengemukakan
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya konflik,
antara lain:
(1) ciri umum dari pihak-pihak yang
terlibat dalam konflik;
(2) hubungan pihak-pihak yang mengalami
konflik sebelum
terjadi
konflik;
(3) sifat masalah yang menimbulkan konflik
(4) lingkungan sosial tempat konflik
terjadi
(5) kepentingan pihak-pihak yang terlibat
dalam konflik
(6) strategi yang biasa digunakan pihak-pihak
yang mengalami
konflik
(7) konsekuensi konflik terhadap pihak
yang mengalami konflik
dan terhadap
pihak lain, dan
(8) tingkat kematangan pihak-pihak yang
berkonflik.
Berbeda pula dengan pendapat Mangkunegara (2001) bahwa
penyebab konflik dalam organisasi adalah:
(1) koordinasi kerja yang tidak dilakukan,
(2) ketergantungan dalam pelaksanaan tugas,
(3) tugas yang tidak jelas (tidak ada diskripsi
jabatan),
(4) perbedaan dalam orientasi kerja,
(5) perbedaan dalam memahami tujuan organisasi,
(6) perbedaan persepsi,
(7) sistem kompetensi intensif (reward), dan
(8) strategi permotivasian yang tidak tepat.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang sumber konflik
sebagaimana dikemukakan oleh beberapa ahli, dapat ditegaskan bahwa sumber
konflik dapat berasal dari dalam dan luar diri individu. Dari dalam diri
individu misalnya adanya perbedaan tujuan, nilai, kebutuhan serta perasaan yang
terlalu sensitif. Dari luar diri individu misalnya adanya tekanan dari
lingkungan, persaingan, serta langkanya sumber daya yang ada.
Jadi, faktor
penyebab konflik antara lain :
a.Perbedaan individu
Perbedaan kepribadian antar individu bisa menjadi faktor penyebab terjadinya konflik, biasanya perbedaan individu yang
Perbedaan kepribadian antar individu bisa menjadi faktor penyebab terjadinya konflik, biasanya perbedaan individu yang
menjadi sumber
konflik
adalah perbedaan
pendirian
dan
perasaan. Setiap manusia adalah individu yang unik, artinya setiap orang memiliki pendirian dan
perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan
perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor
penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak
selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di
lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbedabeda. Ada yang
merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
b. Perbedaan latar belakang kebudayaan
Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribad i- pribadi yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola – pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribad i- pribadi yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola – pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
c. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok
manusia
memiliki perasaan.
Pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda.
Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok
memiliki kepentingan yang berbeda- beda.
d.Perubahan-perubahannilai yang cepat dan mendadak
dalam
masyarakat
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi,
tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan
tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat
pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan
konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya
bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat
industri.
Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotong
royongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan
menurut jenis pekerjaannya. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi
individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak
ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan
istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara
cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan prosesproses sosial di masyarakat,
bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena
dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada.
C. BENTUK
KONFLIK SOSIAL
Bentuk konflik social sangat beragam, berikut
dipaparkan beberapa pendapat ahli tentang bentuk dari konflik social :
1.Sasse (1981) mengajukan istilah yang bersinonim
maknanya dengan nama conflict style, yaitu cara orang bersikap ketika
menghadapi pertentangan. Conflict style ini memiliki kaitan dengan kepribadian.
Maka orang yang berbeda akan menggunakan conflict style yang berbeda pada saat
mengalami konflik dengan orang lain.
2. Rubin (dalam Farida, 1996) menyatakan bahwa
konflik timbul dalam berbagai situasi sosial, baik terjadi dalam diri seseorang
individu, antar individu, kelompok, organisasi maupun antar negara. Ada banyak
kemungkinan menghadapi konflik yang dikenal dengan istilah manajemen konflik.
Konflik yang terjadi pada manusia ada berbagai macam ragamnya, bentuknya, dan
jenisnya.
3. Soetopo (1999) mengklasifikasikan jenis
konflik, dipandang dari segi materinya menjadi empat, yaitu:
a. Konflik tujuan
Konflik tujuan terjadi jika ada dua tujuan atau yang
kompetitif bahkan yang kontradiktif.
b. Konflik peranan
Konflik peranan timbul karena manusia memiliki lebih
dari satu peranandan tiap peranan tidak selalu memiliki kepentingan yang sama.
c. Konflik nilai
Konflik nilai dapat muncul karena pada dasarnya nilai
yang dimiliki setiap individu dalam organisasi tidak sama, sehingga konflik
dapat terjadi antar individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan organisasi.
dapat terjadi antar individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan organisasi.
d. Konflik kebijakan
Konflik kebijakan dapat terjadi karena ada
ketidaksetujuan individu atau kelompok terhadap perbedaan kebijakan yang
dikemuka- kan oleh satu pihak dan kebijakan lainnya
Konflik dipandang destruktif dan disfungsional bagi
individu yang terlibat apabila:
1.
Konflik
terjadi dalam frekuensi yang tinggi dan menyita sebagian besar kesempatan
individu untuk berinteraksi. Ini menandakan bahwa problem tidak diselesaikan
secara kuat. Sebaliknya, konflik yang konstruktif terjadi dalam frekuensi yang
wajar dan masih memungkinkan individu-individunya berinteraksi secara harmonis
2.
Konflik
diekspresikan dalam bentuk agresi seperti ancaman atau paksaan dan terjadi
pembesaran konflik baik pembesaran masalah yang menjadi isu konflik maupun
peningkatan jumlah individu yang terlibat. Dalam konflik yang konstruktif isu
akan tetap terfokus dan dirundingkan melalui proses pemecahan masalah yang
saling menguntungkan.
3. Konflik berakhir
dengan terputusnya interaksi antara pihak-pihak yang terlibat. Dalam konflik
yang konstruktif, kelangsungan hubungan antara pihak-pihak yang terlibat akan
tetap terjaga.
Para pakar teori konflik mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat menghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut.
Para pakar teori konflik mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat menghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut.
1. Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah
pihak akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
2. Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri
hanya akan menghasilkan percobaan untuk “memenangkan” konflik.
3. Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya
akan menghasilkan percobaan yang memberikan “kemenangan” konflik bagi pihak
tersebut.
4. Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan
menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik.
D. PROSES KONFLIK
Proses konflik itu akan selalu terjadi di mana pun,
siapa pun dan kapan pun. Konflik merupakan realitas permanen dalam perubahan,
dan perubahan adalah realitas permanen dalam kehidupan, dan diikuti adanya
konflik, perubahan dan kehidupan akan bersifat permanen pula.
Menurut Robbins (1996) proses konflik terdiri dari
lima tahap, yaitu:
(1) oposisi atau ketidakcocokan potensial
Oposisi atau ketidakcocokan potensial adalah adanya
kondisi yang mencipta-kan kesempatan untuk munculnya koinflik. Kondisi ini
tidak perlu langsung mengarah ke konflik, tetapi salah satu kondisi itu perlu
jika konflik itu harus muncul.
(2) kognisi dan personalisasi
Kognisi dan personalisasi adalah persepsi dari salah satu pihak atau
masing-masing pihak terhadap konflik yang sedang dihadapi. Kesadaran oleh satu
pihak atau lebih akan eksistensi kondisi-kondisi yang menciptakan kesempatan untuk timbulnya konflik.
(3) maksud
Maksud adalah keputusan untuk bertindak dalam suatu
cara tertentu dari pihak-pihak yang berkonflik. Maksud dari pihak yang
berkonflik ini akan tercermin atau terwujud dalam perilaku, walaupun tidak
selalu konsisten.
(4) perilaku;
Perilaku mencakup pernyataan, tindakan, dan reaksi
yang dibuat untuk menghancurkan pihak lain, serangan fisik yang agresif,
ancaman dan ultimatun, serangan verbal yang tegas, pertanyaan atau tantangan
terang-terangan terhadap pihak lain, dan ketidaksepakatan atau salahpaham
kecil.
(5) hasil.
Hasil adalah jalinan aksi-reaksi antara pihak-pihak
yang berkonflik dan menghasilkan konsekuensi. Hasil bisa fungsional dalam arti
konflik menghasilkan suatu perbaikan kinerja kelompok, atau disfungsional dalam
arti merintangi kinerja kelompok oleh pihak-pihak yang berkonflik.
E. CONTOH KONFLIK
Ada banyak contoh konflik yang ada di dunia ini,
antara lain :
1. Konflik Vietnam berubah menjadi
perang.
2. Konflik Timur Tengah merupakan
contoh konflik yang tidak terkontrol, sehingga timbul kekerasan. hal ini dapat
dilihat dalam konflik Israel dan Palestina.
3. Konflik Katolik-Protestan di
Irlandia Utara memberikan contoh konflik bersejarah lainnya.
4. Banyak konflik yang terjadi karena
perbedaan ras dan etnis. Ini termasuk konflik Bosnia-Kroasia (lihat Kosovo),
konflik di Rwanda, dan konflik di Kazakhstan.
F. POLA PENYELESAIAN
KONFLIK
Menurut Riggio (1990), konflik dapat berpengaruh
positif atau negatif, dan selalu ada dalam kehidupan. Oleh karena itu konflik
hendaknya tidak serta merta harus ditiadakan. Persoalannya, bagaimana konflik
itu bisa dimanajemen sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan disintegrasi
sosial. Pengelolaan konflik berarti mengusahakan agar konflik berada pada level
yang optimal. Jika konflik menjadi terlalu besar dan mengarah pada akibat yang buruk,
maka konflik harus diselesaikan. Di sisi lain, jika konflik berada pada level
yang terlalu rendah, maka konflik harus dibangkitkan.
Berbeda lagi dengan yang dinyatakan oleh Soetopo
(1999) bahwa strategi pengelolaan konflik menunjuk pada suatu aktivitas yang
dimaksudkan untuk mengelola konflik mulai dari perencanaan, evaluasi, dan
pemecahan/penyelesaian suatu konflik sehingga menjadi sesuatu yang positif bagi
perubahan dan pencapaian tujuan.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengelolaan
konflik, dapat ditegaskan bahwa pengelolaan konflik merupakan cara yang
digunakan individu dalam mengontrol, mengarahkan, dan menyelesaikan konflik,dalam
hal ini adalah konflik interpersonal.
Hodge dan Anthony (1991), memberikan gambaran melalui
berbagai metode resolusi (penyelesaian) konflik, sebagai berikut:
Pertama, dengan metode penggunaan paksaan.
Orang sering menggunakan kekuasaan dan kewenangan agar
konflik dapat diredam atau dipadamkan.
Kedua, dengan metode penghalusan (smoothing).
Pihak-pihak yang berkonflik hendaknya saling memahami
konflik dengan bahasa kasih sayang, untuk memecahkan dan memulihkan hubungan
yang mengarah pada perdamaian.
Ketiga, penyelesaian dengan cara demokratis.
Artinya, memberikan peluang kepada masing-masing pihak
untuk mengemukakan pendapat dan memberikan keyakinan akan kebenaran pendapatnya
sehingga dapat diterima oleh kedua belah pihak.
BAB III PENUTUP
1.
A. KESIMPULAN
Manusia sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi
dengan sesama manusia. Ketika berinteraksi dengan sesama manusia, selalu
diwarnai dua hal, yaitu konflik dan kerjasama. Dengan demikian konflik
merupakan bagian dari kehidupan manusia, karena itu tidak ada masyarakat yang
steril dari realitas konflik.
Konflik dan konsensus, integrasi dan perpecahan adalah
proses fundamental yang walau dalam porsi dan campuran yang berbeda, merupakan
bagian dari setiap sistem sosial yang dapat dimengerti. Karena konflik
merupakan bagian kehidupan sosial, maka dapat dikatakan konflik sosial merupakan
sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditawar.
B. SARAN
Konflik sosial sudah menjadi bagian dari kehidupan
manusia. Namun apabila kita sikapi dengan baik maka konflik tersebut dapat
memberikan masukan yang baik terhadap kehidupan. Oleh karena itu, apabila
terjadi konflik hendaknya kita menyelesaikan dengan baik agar tidak terjadi
konflik yang berkelanjutan antara pihak-pihak yang berkonflik.
DAFTAR PUSTAKA
Ø http://www.kompas.com/kompas-cetak/0001/11/opini/arke45.htm/KONFLIK_SOSIAL
DIAKSES JUMAT,19 NOP
2010 JAM 19.00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar