Senin, 26 Desember 2016

makalah konflik sosial



KELOMPOK 3
Laporan  ini di tujukan untuk memenuhi tugas mata pelajaran
ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
TENTANG KONFLIK SOSIAL
 
DISUSUN OLEH :
Nani Gustiawati
Syarif Abdurahman
Taufik Septiyan Hidayat
Bintang Puja Utami
Dita Dwiyanti
Fitri Dewi Wulandari

YAYASAN ADHI GUNA KENCANA
SMK KESEHATAN BHAKTI KENCANA SUBANG
TAHUN AJARAN 2014/2015


BAB I         PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini tengah menghadapi ancaman serius berkaitan dengan mengerasnya konflik-konflik dalam masyarakat, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Konflik-konflik itu pada dasarnya merupakan produk dari sistem kekuasaan Orde Baru yang militeristik, sentralistik, dominatif, dan hegemonik. Sistem tersebut telah menumpas kemerdekaan masyarakat untuk mengaktualisasikan dirinya dalam wilayah sosial, ekonomi, politik, maupun kultural. Kemajemukan bangsa yang seharusnya dapat kondusif bagi pengembangan demokrasi ditenggelamkan oleh ideologi harmoni sosial yang serba semu, yang tidak lain adalah ideologi keseragaman. Bagi negara kala itu, kemajemukan dianggap sebagai potensi yang dapat mengganggu stabilitas politik.
Karena itu negara perlu menyeragamkan setiap elemen kemajemukan dalam masyarakat sesuai dengan karsanya, tanpa harus merasa telah mengingkari prinsip dasar hidup bersama dalam kepelbagaian. Dengan segala kekuasaan yang ada padanya negara  tidak segan - segan untuk menggunakan cara-cara koersif
 agar masyarakat tunduk pada ideologi negara yang maunya serba seragam, serba tunggal. Negara sebagai faktor dominan yang telah membentuk pola pikir dan kesadaran antidemokrasi di kalangan masyarakat. Ketika negara mengalami defisit otoritas, kesadaran masyarakat semakin menonjol dalam berbagai pola perilaku sosial dan politik.
Munculnya reformasi telah menyediakan ruang yang lebih lebar bagi artikulasi pendapat dan kepentingan masyarakat pada umumnya. Masalahnya, artikulasi pendapat dan kepentingan itu masih belum terlepas dari kesadaran bias state yang mengimplikasikan dehumanisasi. Itulah mengapa kemudian muncul berbagai bentuk tragedi kemanusiaan yang amat memilukan seperti kita saksikan dewasa ini di Aceh, Ambon, Sambas, Papua, dan beberapa daerah lain. Ironisnya lagi, ternyata ada the powerful invisible hand yang turut bermain dalam menciptakan tragedi kemanusiaan itu.Jadi, reformasi yang tengah kita laksanakan sekarang ini harus mampu membongkar   aspek  struktural  dan  kultural  yang  kedua-duanya  saling mempengaruhi kehidupan masyarakat. Kita tidak dapat semata-mata bertumpu kepada aspek struktural atau sistem kekuasaan yang ada, melainkan harus pula melakukan evaluasi atas wacana dan konstruksi pemikiran masyarakat. Gerakan reformasi, karena sifatnya yang moderat. Sementara revolusi, sifatnya yang radikal, bersikap tegas dalam menghadapi rezim kekuasaan yang lama.
Kenyataan bahwa yang terjadi sekarang ini adalah reformasi menuntut segenap elemen dalam masyarakat untuk mereposisi gerakannya agar lebih kondusif bagi akselerasi reformasi. Artinya, kita tidak dapat lagi menggunakan wacana dan metode gerakan sebagaimana dilakukan pada masa kekuasaan Orde Baru. Gerakan sosial apa pun dalam masyarakat harus mulai menyediakan alternatif-alternatif yang lebih konkret kepada para pengambil keputusan.  Meskipun struktur dan sistemnya masih Orde Baru, tetapi di dalamnya mulai berlangsung dinamika yang lebih baik ke arah demokratisasi.Namun demikian ada dua soal yang harus secara terus-menerus dipertegas. Pertama, political will dan konsistensi pemerintah baru untuk melaksanakan agenda reformasi. Kedua, kesediaan masyarakat untuk bekerja sama dengan pemerintah dalam mempercepat jalannya agenda reformasi. Dalam konteks pengembangan kehidupan bangsa yang humanis, plural dan demokratis, baik pemerintah maupun masyarakat bertanggung jawab untuk membongkar struktur dan kultur dalam masyarakat yang masih diskriminatif.
Masyarakat tidak boleh lagi menyerahkan segala urusan kepada pemerintah sebagaimana yang sudah-sudah. Karena dengan begitu kita sebagai warga negara akan semakin kehilangan peran strategis, sementara pemerintah akan semakin dominan. Inilah  waktu  yang  tepat  bagi  segenap  warga  negara
Indonesia untuk berpartisipasi semaksimal mungkin dalam mengarahkan dan mengendalikan proses transisi bangsa dan negara ini menuju demokrasi yang sejati, atau minimal demokrasi yang stabil (stable democracy).

BAB II       PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN KONFLIK SOSIAL
Manusia sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi dengan sesama manusia. Ketika berinteraksi dengan sesama manusia, selalu diwarnai dua hal, yaitu konflik dan kerjasama. Dengan demikian konflik merupakan bagian dari kehidupan manusia.
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik, dalam kamus besar Bahasa Indonesia (2002) diartikan sebagai percekcokan, perselisihan, dan pertentangan.
Beberapa pendapat ahli tetang pengertian konflik :
a.       Kartono & Gulo (1987)
Konflik berarti ketidaksepakatan dalam satu pendapat emosi dan tindakan dengan orang lain
Keadaan mentalmerupakan hasil impuls-impuls,hasrat-hasrat, keinginan-keinginan dan sebagainya yang saling bertentangan, namun bekerja dalam saat yang bersamaan.
b.      Robbins (1996)
Konflik juga dimaknai sebagai suatu proses yang mulai bila satu pihak merasakan bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara negatif, atau akan segera mempengaruhi secara negatif, sesuatu yang diperhatikan oleh pihak pertama. Suatu ketidakcocokan belum bisa dikatakan sebagai suatu konflik bilamana salah satu pihak tidak memahami adanya ketidakcocokan tersebut.
c.       White & Bednar (1991)
Konflik sebagai suatu interaksi antara orang-orang atau kelompok yang saling bergantung merasakan adanya tujuan yang saling bertentangan dan saling mengganggu satu sama lain dalam mencapai tujuan itu.
d.      Cassel Concise dalam Lacey (2003)
Mengemukakan bahwa konflik sebagai “a fight, a collision; a struggle, a contest; opposition of interest, opinion or purposes; mental strife, agony”. Pengertian tersebut memberikan
penjelasan bahwa konflik adalah suatu pertarungan, suatu benturan, suatu pergulatan, pertentangan kepentingan, opini-opini atau tujuan-tujuan, pergulatan mental, penderitaan batin.
e.       Mangkunegara (2001)
Konflik adalah suatu pertentangan yang terjadi antara apa yang diharapkan oleh seorang terhadap dirinya, orang lain, orang dengan kenyataan apa yang diharapkan.
f.       Wexley &Yukl (1988).
Konflik juga merupakan perselisihan atau perjuangan di antara dua pihak (two parties)yang ditandai dengan menunjukkan permusuhan secara terbuka dan atau mengganggu dengan sengaja pencapaian tujuan pihak yang menjadi lawannya Pertentangan dikatakan sebagai konflik manakala pertentangan itu bersifat langsung, yakni ditandai interaksi timbal balik di antara pihak-pihak yang bertentangan.
Jadi, konflik biasanya diberi pengertian sebagai satu bentuk perbedaan atau pertentangan ide, pendapat, faham dan kepentingan di antara dua pihak atau lebih. Pertentangan ini bisa berbentuk pertentangan fisik dan non-fisik, yang pada umumnya berkembang  dari  pertentangan  non-fisik menjadi benturan fisik,
yang bisa berkadar tinggi dalam bentuk kekerasan (violent), bisa juga berkadar rendah yang tidak menggunakan kekerasan (non-violent).
Dalam hubungannya dengan pertentangan sebagai konflik, Marck, Synder dan Gurr membuat kriteria yang menandai suatu pertentangan sebagai konflik:
1.             Pertama, sebuah konflik harus melibatkan dua atau lebih pihak di
dalamnya;
2.             Kedua, pihak-pihak tersebut saling tarik-menarik dalam aksi-aksi saling memusuhi (mutualy opposing actions);
3.             Ketiga, mereka biasanya cenderung menjalankan perilaku koersif untuk
 menghadapi dan menghancurkan “sang musuh
4.             Keempat, interaksi pertentangan di antara pihak-pihak itu berada dalam
 keadaan yang tegas, karena itu keberadaan peristiwa pertentangan itu dapat dideteksi dan dimufakati dengan mudah oleh para pengamat yang tidak terlibat dalam pertentangan.

B.     SUMBER KONFLIK SOSIAL
Konflik yang terjadi pada manusia bersumber pada berbagai macam sebab. Begitu beragamnya sumber konflik yang terjadi antar manusia, sehingga sulit itu untuk dideskripsikan secara jelas dan terperinci sumber dari konflik. Hal ini dikarenakan sesuatu yang seharusnya bisa menjadi sumber konflik, tetapi pada kelompok manusia tertentu ternyata tidak menjadi sumber konflik, demikian halnya sebaliknya. Kadang sesuatu yang sifatnya sepele bisa menjadi sumber konflik antara manusia. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi.
Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Kesimpulannya sumber konflik itu sangat beragam dan kadang sifatnya tidak rasional. Oleh karena kita tidak bisa menetapkan secara tegas bahwa yang menjadi sumber konflik
adalah sesuatu hal tertentu, apalagi hanya didasarkan pada hal-
hal yang sifatnya rasional.
Pada umumnya penyebab munculnya konflik kepentingan sebagai berikut:
(1) perbedaan kebutuhan, nilai, dan tujuan,
(2) langkanya sumber daya seperti kekuatan, pengaruh, ruang,  
              waktu, uang, popularitas dan posisi,
(3) persaingan.
Menurut Johnson & Johnson, (1991) ketika kebutuhan, nilai dan tujuan saling bertentangan, ketika sejumlah sumber daya menjadi terbatas, dan ketika persaingan untuk suatu penghargaan serta hak-hak istimewa muncul, konflik kepentingan akan muncul.
Menurut Anoraga (dalam Saputro, 2003) suatu konflik dapat terjadi karena perbendaan pendapat, salah paham, ada pihak yang dirugikan, dan perasaan sensitif.
1.Perbedaan pendapat
            Suatu   konflik  yang  terjadi  karena  pebedaan  pendapat dimana  masing-masing  pihak  merasa dirinya  benar,  tidak  ada
yang  mau  mengakui kesalahan, dan apabila perbedaan pendapat tersebut amat tajam maka dapat menimbulkan rasa kurang enak, ketegangan dan sebagainya.
2. Salah paham
          Salah    paham   merupakan  salah   satu  hal  yang  dapat menimbulkan  konflik.  Isalnya  tindakan  dari  seseorang  yang tujuan sebenarnya baik tetapi diterima sebaliknya oleh individu yang lain.
 3. Ada pihak yang dirugikan
            Tindakan salah satu pihak mungkin dianggap merugikan yang lain atau masing-masing pihak merasa dirugikan pihak lain sehingga seseorang yang dirugikan merasa kurang enak, kurang senang atau bahkan membenci.
 4. Perasaan sensitif
            Seseorang  yang  terlalu perasa sehingga sering menyalah artikan tindakan orang lain. Contoh, mungkin tindakan seseorang wajar, tetapi oleh pihak lain dianggap merugikan.
  Baron & Byrne (dalam Kusnarwatiningsih, 2007) mengemukakan konflik disebabkan antara lain oleh perebutan sumber daya, pembalasan dendam, atribusi dan kesalahan dalam berkomunikasi. Sedangkan Soetopo (2001) juga mengemukakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya konflik,
antara lain:
(1)   ciri umum dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik;
(2)   hubungan pihak-pihak yang mengalami konflik sebelum  
        terjadi konflik;
(3)   sifat masalah yang menimbulkan konflik
(4)   lingkungan sosial tempat konflik terjadi
(5)   kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik
(6)   strategi yang biasa digunakan pihak-pihak yang mengalami
        konflik
(7)   konsekuensi konflik terhadap pihak yang mengalami konflik  
       dan terhadap  pihak lain, dan
(8)   tingkat kematangan pihak-pihak yang berkonflik.
Berbeda pula dengan pendapat Mangkunegara (2001) bahwa penyebab konflik dalam organisasi adalah:
(1) koordinasi kerja yang tidak dilakukan,
(2) ketergantungan dalam pelaksanaan tugas,
(3) tugas yang tidak jelas (tidak ada diskripsi jabatan),
(4) perbedaan dalam orientasi kerja,
(5) perbedaan dalam memahami tujuan organisasi,
(6) perbedaan persepsi,
(7) sistem kompetensi intensif (reward), dan
(8) strategi permotivasian yang tidak tepat.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang sumber konflik sebagaimana dikemukakan oleh beberapa ahli, dapat ditegaskan bahwa sumber konflik dapat berasal dari dalam dan luar diri individu. Dari dalam diri individu misalnya adanya perbedaan tujuan, nilai, kebutuhan serta perasaan yang terlalu sensitif. Dari luar diri individu misalnya adanya tekanan dari lingkungan, persaingan, serta langkanya sumber daya yang ada.
 Jadi, faktor penyebab konflik antara lain :
a.Perbedaan individu
          Perbedaan kepribadian antar individu bisa menjadi faktor penyebab terjadinya  konflik, biasanya perbedaan individu yang
menjadi   sumber   konflik   adalah   perbedaan   pendirian   dan perasaan.  Setiap  manusia  adalah  individu  yang unik,  artinya setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbedabeda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
b.  Perbedaan latar belakang kebudayaan
            Perbedaan      latar      belakang     kebudayaan    sehingga membentuk   pribad i- pribadi  yang  berbeda.  Seseorang  sedikit banyak  akan   terpengaruh  dengan  pola – pola    pemikiran  dan pendirian  kelompoknya.  Pemikiran  dan pendirian yang berbeda itu  pada  akhirnya  akan  menghasilkan  perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
c. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok manusia        
     memiliki perasaan.
Pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda- beda.
d.Perubahan-perubahannilai yang cepat dan mendadak dalam  
    masyarakat
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri.
Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotong royongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan prosesproses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada.

C.    BENTUK KONFLIK SOSIAL
Bentuk konflik social sangat beragam, berikut dipaparkan beberapa pendapat ahli tentang bentuk dari konflik social :
1.Sasse (1981) mengajukan istilah yang bersinonim maknanya dengan nama conflict style, yaitu cara orang bersikap ketika menghadapi pertentangan. Conflict style ini memiliki kaitan dengan kepribadian. Maka orang yang berbeda akan menggunakan conflict style yang berbeda pada saat mengalami konflik dengan orang lain.
2. Rubin (dalam Farida, 1996) menyatakan bahwa konflik timbul dalam berbagai situasi sosial, baik terjadi dalam diri seseorang individu, antar individu, kelompok, organisasi maupun antar negara. Ada banyak kemungkinan menghadapi konflik yang dikenal dengan istilah manajemen konflik. Konflik yang terjadi pada manusia ada berbagai macam ragamnya, bentuknya, dan jenisnya.
3. Soetopo (1999) mengklasifikasikan jenis konflik, dipandang dari segi materinya menjadi empat, yaitu:
a. Konflik tujuan
Konflik tujuan terjadi jika ada dua tujuan atau yang kompetitif bahkan yang kontradiktif.
b. Konflik peranan
Konflik peranan timbul karena manusia memiliki lebih dari satu peranandan tiap peranan tidak selalu memiliki kepentingan yang sama.
c. Konflik nilai
Konflik nilai dapat muncul karena pada dasarnya nilai yang dimiliki setiap individu dalam organisasi tidak sama, sehingga konflik
dapat terjadi antar individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan organisasi.
d. Konflik kebijakan
Konflik kebijakan dapat terjadi karena ada ketidaksetujuan individu atau kelompok terhadap perbedaan kebijakan yang dikemuka- kan oleh satu pihak dan kebijakan lainnya
Konflik dipandang destruktif dan disfungsional bagi individu yang terlibat apabila:
1.                      Konflik terjadi dalam frekuensi yang tinggi dan menyita sebagian besar kesempatan individu untuk berinteraksi. Ini menandakan bahwa problem tidak diselesaikan secara kuat. Sebaliknya, konflik yang konstruktif terjadi dalam frekuensi yang wajar dan masih memungkinkan individu-individunya berinteraksi secara harmonis
2.             Konflik diekspresikan dalam bentuk agresi seperti ancaman atau paksaan dan terjadi pembesaran konflik baik pembesaran masalah yang menjadi isu konflik maupun peningkatan jumlah individu yang terlibat. Dalam konflik yang konstruktif isu akan tetap terfokus dan dirundingkan melalui proses pemecahan masalah yang saling menguntungkan.
3.      Konflik berakhir dengan terputusnya interaksi antara pihak-pihak yang terlibat. Dalam konflik yang konstruktif, kelangsungan hubungan antara pihak-pihak yang terlibat akan tetap terjaga.
Para pakar teori konflik mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat menghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut.
1. Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
2. Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk “memenangkan” konflik.
3. Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan percobaan yang memberikan “kemenangan” konflik bagi pihak tersebut.
4. Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik.

D.    PROSES KONFLIK
Proses konflik itu akan selalu terjadi di mana pun, siapa pun dan kapan pun. Konflik merupakan realitas permanen dalam perubahan, dan perubahan adalah realitas permanen dalam kehidupan, dan diikuti adanya konflik, perubahan dan kehidupan akan bersifat permanen pula.
Menurut Robbins (1996) proses konflik terdiri dari lima tahap, yaitu:
(1)   oposisi atau ketidakcocokan potensial
Oposisi atau ketidakcocokan potensial adalah adanya kondisi yang mencipta-kan kesempatan untuk munculnya koinflik. Kondisi ini tidak perlu langsung mengarah ke konflik, tetapi salah satu kondisi itu perlu jika konflik itu harus muncul.
(2)   kognisi dan personalisasi
Kognisi dan personalisasi adalah persepsi dari salah satu pihak atau masing-masing pihak terhadap konflik yang sedang dihadapi. Kesadaran oleh satu pihak atau lebih akan eksistensi kondisi-kondisi yang menciptakan kesempatan untuk timbulnya konflik.
(3)   maksud
Maksud adalah keputusan untuk bertindak dalam suatu cara tertentu dari pihak-pihak yang berkonflik. Maksud dari pihak yang berkonflik ini akan tercermin atau terwujud dalam perilaku, walaupun tidak selalu konsisten.
(4)   perilaku;
Perilaku mencakup pernyataan, tindakan, dan reaksi yang dibuat untuk menghancurkan pihak lain, serangan fisik yang agresif, ancaman dan ultimatun, serangan verbal yang tegas, pertanyaan atau tantangan terang-terangan terhadap pihak lain, dan ketidaksepakatan atau salahpaham kecil.
(5)   hasil.
Hasil adalah jalinan aksi-reaksi antara pihak-pihak yang berkonflik dan menghasilkan konsekuensi. Hasil bisa fungsional dalam arti konflik menghasilkan suatu perbaikan kinerja kelompok, atau disfungsional dalam arti merintangi kinerja kelompok oleh pihak-pihak yang berkonflik.
           
E.     CONTOH KONFLIK
Ada banyak contoh konflik yang ada di dunia ini, antara lain :
1.      Konflik Vietnam berubah menjadi perang.
2.      Konflik Timur Tengah merupakan contoh konflik yang tidak terkontrol, sehingga timbul kekerasan. hal ini dapat dilihat dalam konflik Israel dan Palestina.
3.      Konflik Katolik-Protestan di Irlandia Utara memberikan contoh konflik bersejarah lainnya.
4.      Banyak konflik yang terjadi karena perbedaan ras dan etnis. Ini termasuk konflik Bosnia-Kroasia (lihat Kosovo), konflik di Rwanda, dan konflik di Kazakhstan.

F.     POLA PENYELESAIAN KONFLIK
Menurut Riggio (1990), konflik dapat berpengaruh positif atau negatif, dan selalu ada dalam kehidupan. Oleh karena itu konflik hendaknya tidak serta merta harus ditiadakan. Persoalannya, bagaimana konflik itu bisa dimanajemen sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan disintegrasi sosial. Pengelolaan konflik berarti mengusahakan agar konflik berada pada level yang optimal. Jika konflik menjadi terlalu besar dan mengarah pada akibat yang buruk, maka konflik harus diselesaikan. Di sisi lain, jika konflik berada pada level yang terlalu rendah, maka konflik harus dibangkitkan.
Berbeda lagi dengan yang dinyatakan oleh Soetopo (1999) bahwa strategi pengelolaan konflik menunjuk pada suatu aktivitas yang dimaksudkan untuk mengelola konflik mulai dari perencanaan, evaluasi, dan pemecahan/penyelesaian suatu konflik sehingga menjadi sesuatu yang positif bagi perubahan dan pencapaian tujuan.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengelolaan konflik, dapat ditegaskan bahwa pengelolaan konflik merupakan cara yang digunakan individu dalam mengontrol, mengarahkan, dan menyelesaikan konflik,dalam hal ini adalah konflik interpersonal.
Hodge dan Anthony (1991), memberikan gambaran melalui berbagai metode resolusi (penyelesaian) konflik, sebagai berikut:
Pertama, dengan metode penggunaan paksaan.
Orang sering menggunakan kekuasaan dan kewenangan agar konflik dapat diredam atau dipadamkan.
Kedua, dengan metode penghalusan (smoothing).
Pihak-pihak yang berkonflik hendaknya saling memahami konflik dengan bahasa kasih sayang, untuk memecahkan dan memulihkan hubungan yang mengarah pada perdamaian.
Ketiga, penyelesaian dengan cara demokratis.
Artinya, memberikan peluang kepada masing-masing pihak untuk mengemukakan pendapat dan memberikan keyakinan akan kebenaran pendapatnya sehingga dapat diterima oleh kedua belah pihak.

BAB III        PENUTUP
1.     A.    KESIMPULAN
Manusia sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi dengan sesama manusia. Ketika berinteraksi dengan sesama manusia, selalu diwarnai dua hal, yaitu konflik dan kerjasama. Dengan demikian konflik merupakan bagian dari kehidupan manusia, karena itu tidak ada masyarakat yang steril dari realitas konflik.
Konflik dan konsensus, integrasi dan perpecahan adalah proses fundamental yang walau dalam porsi dan campuran yang berbeda, merupakan bagian dari setiap sistem sosial yang dapat dimengerti. Karena konflik merupakan bagian kehidupan sosial, maka dapat dikatakan konflik sosial merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditawar.
B.     SARAN
Konflik sosial sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Namun apabila kita sikapi dengan baik maka konflik tersebut dapat memberikan masukan yang baik terhadap kehidupan. Oleh karena itu, apabila terjadi konflik hendaknya kita menyelesaikan dengan baik agar tidak terjadi konflik yang berkelanjutan antara pihak-pihak yang berkonflik.




DAFTAR PUSTAKA

Ø  http://www.wikipedia.org / wiki / konflik/KONFLIK SOSIAL DIAKSES JUMAT,19 NOP 2010 JAM 19.00













Tidak ada komentar:

Posting Komentar